SENI LUKIS INDONESIA BERAKAR INDONESIA DALAM PERSPEKTIF KONSEP “ESTETIKA SANGGIT” DHARSONO

Seiring berkembangnya postmodernisme dunia akhir dekade 70-an dan mulai memasuki Indonesia pada dekade 90-an, memunculkan kecenderungan hilangnya batas seni dan kehidupan sehari-hari, tumbangnya sekat-sekat budaya tinggi dan budaya pop, pencampuradukan gaya, hilangnya orisinalitas karya.  Di lain pihak, ada juga yang sibuk menjungkirbalikan konsep-konsep modernisme seperti: mainstream, universalitas, homogeniitas, hegemoni budaya dan ideologi, progresivitas, kebaruan, yang justru pada akhirnya menukik kembali pada persoalan identitas menjadi semakin menajam terangkat akibat dari fenomena pluralitas yang muncul kemudian. Dengan perubahan paradigma Barat pada fenomena pluralitas era postmodern kinilah, akhirnya kacamata Barat yang selama ini seolah-olah cuma memandang sebelah mata pada seni rupa negara berkembang mulai berubah.

Menyadari hal tersebut maka seyoganya perlu kita lihat kemapaman kondisi akar budaya kita. Akar tradisi yang sudah menjadi keyakinan dan sudah mengakar di bumi pertiwi ini. Menurut Dharsono (2000), perlu kita kembang-lestarikan sebagai satu sentuhan konsep inovasi garap seni lukis Indonesia. Sehingga, seni lukis modern Indonesia tidak lagi sekedar pencarian mode yang sekedar barang import, tapi perlu digali dari bumi pertiwi sendiri. Lebih dari 15 tahun kemudian, Dharsono melalui bukunya “Estetika Nusantara”, lebih menajamkan gagasannya tentang konsepsi seni lukis Indonesia yang punya akar Indonesia, dengan menawarkan konsep Estetika Sanggit yang dibagi menjadi tiga, yaitu: revitalisasi, reinterpretasi, dan abstraksi/ekspresi simbolik, dan pameran ini adalah implementasi dari gagasan Dharsono tersebut.

null

Satriana Didiek Isnanta, M.Sn.

(Kurator Seni Rupa dan Pengajar Seni Rupa di ISI Surakarta)